EDELWEISS: Bunga Abadi
Oleh Beni Bevly
Salah satu kegiatan yang aku gemari pada masa SMA dan kuliah adalah hiking. Dengan hiking, aku merasa menjadi satu dengan alam, suara burung, angin keresekan daun, bahkan hujan membuatku menjadi “hidup”. Tidak hanya itu, setelah mencapai kepuncak, “rasa hidupku” semakin menjadi. Aku merasakan kemegahan jagat raya dan bumi di mana aku berpijak. Pada saat itu aku merasa ada interaksi dengan alam dan gunung di mana aku bepijak. Maka bisalah dimengerti jika John Muir, pendiri Sierra Club, USA, organisasi pelindung alam terbesar di dunia, berkata, “Let us do something to make the mountains glad” sebagai imbalan bahwa gunung telah membuat kita “hidup.”
Tempat favorit untuk hiking-ku adalah di Gunung Gede. Apa yang menarik dari Gudung Gede, sehingga aku memilih tempat ini? Alasan utamanya, selain yang aku kemukakan adalah tantangan yang masih dalam jangkauan. Alasan lain adalah romantisme remaja akan kisah bunga Edelweiss yang sering dicetuskan oleh penulis cerpen atau novel.
Biasanya aku dan temanku tiba di kaki Gunung Gede pada siang hari. Kami melakukan pengecekan terakhir. Hiking dimulai ketika hari menjelang sore. Begitu hendak memasuki trail, aku harus melewati pos penjaga. Di pos ini aku dan temanku yang lain akan diberitahu tentang peraturan larangan dan akibat pelanggaran aturan. Sebelum dilepaskan, kami diminta untuk push up sebagai bukti bahwa bahwa kami memiliki kekuatan fisik untuk mendaki.
Walaupun kesulitan trail untuk mencapai puncak aku kategorikan moderat, aku tetap bersikap sikap hati-hati. Ada dua tempat yang aku kira cukup berbahaya. Pertama, melewati genangan air. Seingatku, trail ini luasanya sekitar satu meter. Di sampingnya terdapat jurang curam yang dalam. Di antara genangan air yang kedalamannya bisa mencapai sepinggang itu terdapat batu yang berlumut dan licin. Batu inilah yang menjadi tempat kami menginjak. Jika tidak hati-hati, kemungkinannya adalah terpeleset dan jatuh kejurang tersebut.
Kedua, kami menyebutnya sebagai tanjakan maut. Tanjakan itu curammnya melebihi 45 derajat. Seperti biasanya, di hutan tropis, keadaan tanah dan batu yang lebih banyak diselimuti oleh lumut dan embun yang lembab dan becek. Di sana telah di pasang jaringan tambang. Pada suatu saat uku terlalu mengandalkan tambang itu. Aku mendaki dengan keyakinan penuh sambil membetot dan menginjak tambang tersebut. Setelah beberapa kali merayap, tiba-tiba tambang yang aku injak itu putus. Karena kehilangan injakan, badanku melorot, tetapi cukup beruntung bahwa aku memegang tambang yang lain dengan kencang. Pada saat itu, aku rasa jantungku mau copot.
Setelah melewati separuh perjalanan, kami beristirahat di salah satu pos yang disebut Kandang Badak. Di situ, di tengah udara yang dingin dan membuat tanganku bebal kesemutan, di tengah gelap yang hanya kedengaran suara air mengalir dan suara jengkrik, kami mendirikan tenda memasak indomie mengunakan portable kompor yang kami bawa. Setelah itu kami beristirahat, menghimpun tenaga untuk mengadakan “serangan fajar”. Serangan fajar yang kami maksudkan adalah meneruskan dakian pada saat yang tepat, yaitu pagi hari sehingga begitu sampai di puncak, kami bisa menikmati keindahan dan kemegahan alam melalui sinar matahari terbit.
Di puncak Gunung Gede inilah, bunga Edelweiss (Leontopodium alpinum) bisa ditemukan. Bunga ini berwarna putih-abu-kehijauan. Mereka tumbuh membentuk rimbunan kecil di permukanan tanah. Ketika dipetik dan disimpan di tempat kering dan temperatur ruangan, bunga ini tidak akan berubah warna seolah-olah ia tetap hidup dan abadi. Inilah keistimewaannya sehingga ia sering menjadi lambang kecintaan seorang remaja pria terdadap kekasihnya. Hal ini jugalah yang memancing para pendaki untuk memetik dan membawanya pulang.
Bunga Edelweiss dikelompokkan sebagai tanaman yang dilindungi oleh pemerintah, karena itulah setiap pendaki diperingatkan kembali untuk tidak memetik bunga ini. Bagi siap yang melanggar ketentuan ini akan dihukum dan didenda. Agaknya larangan dan ancaman hukuman ini semakin menunjukkan kejantanan, keteguhan hati dan pengobanan para pedaki remaja itu untuk membuktikan cinta mereka terhadap kekasihnya. Juga membuktikan betapa romantis mereka.
Maka tidaklah heran jika salah satu temanku memetik beberapa tangkai dan memasukkannya ke celana dalam di antara kedua selangkangannya. Ia telah mempersiapkan dari rumah dengan mengenakan dua lapis celana dalam. Dengan begitu ia bisa lolos dari geledahan penjaga pos di lereng gunung.
Setelah tinggal di AS kegemaran yang satu ini tidak aku bisa tinggalkan. Selama ini tempak yang aku temuai paling menyenangkan adalah hiking di bukit El Capitain. Bukit ini terletak di taman lindung Yosemite, Kalifornia Utara. Selain terkenal dengan bukit El Capitain-nya – yang sering dijadikan objek foto oleh gotografer terkenal, Ansel Adam – Yosemite juga terkenal dengan air terjunnya yang indah, pohon seqoia raksasa yang lobang di batang bawahnya bisa delewati mobil dan hampir setinggi monas, beruang dan macan gunung liarnya.
Image source: extranomical.com
Dalam perjalanan ke Yosemite dengan mengendarai, ada sebuah terowogan yang cukup panjang perlu dilewati. Sekeluaranya dari terowongan tersebut, pemandangan bukit El Capitain yang spektakuler itu langsung terlihat. Di kaki bukit tersebut ada beberapa trail. Di mulut trail itu ditulis informasi yang jelas mengenai tingkat kesulitan, jarak dan hal-hal yang mesti diperhatikan. Salah satunya adalah adanya binatang buas seperti macan gunung. Sebagai pendaki, untuk melindungi diri, pendaki diijinkan membawa senjata api dan tajam lainnya.
Umumnya, aku memilih trail yang bisa pulang hari. Trail di El Capitain, jika dibandingkan dengan Gunung Gede, sangatlah aman dalam pengertian petunjuknya jelas, jalannya tidak becek dan belumut, tambang yang ada sangat kuat. Dengan kondisi ini, kecuali kecerobohan sendiri, seorang pendaki sulit untuk melorot dan jatuh karena tanah longsor atau licin.
Kondisi ini bisa dipertahankan karena “park ranger” melakukan perawatan berkala, seperti mengali saluran air, memindahakan batu yang longsor, meminggirkan pohon yang tumbang, dan mengganti tambang yang rapuh dengan tetap mempertahankan kealamian daerah itu. Selain itu di alam sub tropis, pada masa semi, panas dan gugur, hujan tidak turun, jadi alam hanya basah dan lembab selama kurang lebih 3 bulan dalam satu tahun.
Hal lain yang aku perhatikan bahwa sepanjang trail, sulit detemukan sampah berupa kantong plastik, botol air minum, atau bahkan puntung rokok. Menyimpan sampah di kantong baju atau di tasnya sendiri sampai ketemu tong sampah baru dibuang adalah kebiasaan umum di USA.
Dalam pendakian itu, aku melihat macan gunung sedang minum air dikali yang jernih. Dengan berhati-hati aku mencari angle yang baik dan memfoto macan itu.
Apa kesenangan hi king di Gunugn Gede, Indonesia dan di bukut El Capitain, Amerika? Kesenangan umumnya adalah tantangan yang menumbulkan rasa ingin menaklukkan, yaitu menaklukkan rasa letih, pegal di kaki dan keinginan untuk menyerah. Sebagai imbalannya adalah kagum atas kemampuan diri ku berjalan dan memanjat sedemikian jauh dan menikmati alam dari ketinggian. Bedanya dengan di Gunung Gede, keamanan dan kebersihan di bukut El Capitain lebih baik.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Pemakai dan pengurusnya mempunyai rasa memiliki dan tanggung jawab yang tinggi. Mereka tahu mana tindakan yang merusak lingkungan dan mana yang memelihara lingkungnan. Mana yang sebaiknya dilakukan dan mana yang tidak. Mereka bekerja sama, bukannya kucing-kucingan dengan pendaki yang ingin mendapatkan bunga Edelweiss sebagai lambang semu bukti kejantanan dan cinta mereka tanpa memperhatikan kelangengan bunga itu sendiri. Agaknya itulah maksud John Muir dengan, “Let us do something to make the mountains glad.”
0 komentar:
Posting Komentar